2.1
Pengertian Fraktur Maksilofasial
Fraktur ialah hilang atau terputusnya
kontinuitas jaringan keras tubuh (Grace and Borley, 2007). Berdasarkan
anatominya wajah atau maksilofasial dibagi menjadi tiga bagian, ialah sepertiga
atas wajah, sepertiga tengah wajah, dan sepertiga bawah wajah (gambar 2.1). Bagian yang
termasuk sepertiga atas wajah ialah tulang frontalis, regio supra orbita, rima
orbita dan sinus frontalis. Maksila, zigomatikus, lakrimal, nasal, palatinus,
nasal konka inferior, dan tulang vomer termasuk ke dalam sepertiga tengah wajah
sedangkan mandibula termasuk ke dalam bagian sepertiga bawah wajah (Kruger,
1984). Fraktur maksilofasial ialah fraktur yang terjadi pada tulang-tulang
pembentuk wajah.
Gambar 2.1 Pembagian Wajah Secara Lateral (Fonseca,
2005)
2.2
Etiologi Fraktur Maksilofasial
Fraktur maksilofasial
dapat diakibatkan karena tindak kejahatan atau penganiayaan, kecelakaan lalu
lintas, kecelakaan olahraga dan industri, atau diakibatkan oleh hal yang
bersifat patologis yang dapat menyebabkan rapuhnya bagian tulang (Fonseca,
2005).
2.3
Lokasi Anatomis Fraktur Maksilofasial
2.3.1
Fraktur Sepertiga Bawah
Wajah (Fonseca, 2005)
Mandibula termasuk kedalam
bagian sepertiga bawah wajah.
Klasifikasi fraktur
berdasarkan istilah (gambar 2.2) :
1.
Simple atau Closed : merupakan fraktur yang tidak menimbulkan luka terbuka
keluar baik melewati kulit, mukosa, maupun membran periodontal.
2.
Compound atau Open : merupakan fraktur yang disertai dengan luka luar termasuk
kulit, mukosa, maupun membran periodontal , yang berhubungan dengan patahnya
tulang.
3.
Comminuted : merupakan fraktur dimana
tulang hancur menjadi serpihan.
4.
Greenstick : merupakan fraktur dimana
salah satu korteks tulang patah, satu sisi lainnya melengkung. Fraktur ini
biasa terjadi pada anak-anak.
5.
Pathologic : merupakan fraktur yang
terjadi sebagai luka yang cukup serius yang dikarenakan adanya penyakit tulang.
6.
Multiple : sebuah variasi dimana
ada dua atau lebih garis fraktur pada tulang yang sama tidak berhubungan satu
sama lain.
7.
Impacted : merupakan fraktur dimana
salah satu fragmennya terdorong ke bagian lainnya.
8.
Atrophic : merupakan fraktur yang
spontan yang terjadi akibat dari atropinya tulang, biasanya pada tulang
mandibula orang tua.
9.
Indirect : merupakan titik fraktur
yang jauh dari tempat dimana terjadinya luka.
10.
Complicated atau Complex : merupakan fraktur dimana
letaknya berdekatan dengan jaringan lunak atau bagian-bagian lainnya, bisa simple atau compound.
Gambar 2.2 Jenis Fraktur Mandibula. A. Greenstick;
B. Simple; C. Comminuted; dan D. Coumpound (Hupp
et al., 2008)
Klasifikasi Fraktur
Mandibula berdasarkan lokasi anatominya (gambar 2.3):
1.
Midline : fraktur diantara incisal sentral.
2.
Parasymphyseal : dari bagian distal
symphysis hingga tepat pada garis alveolar yang berbatasan dengan otot masseter
(termasuk sampai gigi molar 3).
3.
Symphysis : berikatan dengan garis
vertikal sampai distal gigi kaninus.
4.
Angle : area segitiga yang
berbatasan dengan batas anterior otot masseter hingga perlekatan
poesterosuperior otot masseter (dari mulai distal gigi molar 3).
5.
Ramus : berdekatan dengan bagian superior angle
hingga membentuk dua garis apikal pada sigmoid notch.
6.
Processus Condylus : area pada superior
prosesus kondilus hingga regio ramus.
7.
Processus Coronoid : termasuk prosesus
koronoid pada superior mandibula hingga regio ramus.
8.
Processus Alveolaris : regio yang secara
normal terdiri dari gigi.
Gambar 2.3 Lokasi Fraktur mandibula (Coulthard et al., 2008)
2.3.2
Fraktur Sepertiga Tengah
Wajah
Sebagian besar tulang
tengah wajah dibentuk oleh tulang maksila, tulang palatina, dan tulang nasal.
Tulang-tulang maksila membantu dalam pembentukan tiga rongga utama wajah :
bagian atas rongga mulut dan nasal dan juga fosa orbital. Rongga lainnya ialah
sinus maksila. Sinus maksila membesar sesuai dengan perkembangan maksila orang
dewasa. Banyaknya rongga di sepertiga tengah wajah ini menyebabkan regio ini
sangat rentan terkena fraktur.
Fraktur tulang sepertiga
tengah wajah berdasarkan klasifikasi Le Fort :
1.
Fraktur Le Fort tipe I (Guerin’s)
Fraktur Le Fort I (gambar
2.4) merupakan jenis fraktur yang paling sering terjadi, dan menyebabkan
terpisahnya prosesus alveolaris dan palatum durum. Fraktur ini menyebabkan
rahang atas mengalami pergerakan yang disebut floating jaw. Hipoestesia nervus infraorbital kemungkinan terjadi akibat
dari adanya edema.
Gambar 2.4 Fraktur Le Fort I(Fonseca, 2005)
2.
Fraktur Le Fort tipe II
Fraktur Le Fort tipe II (gambar
2.5) biasa juga disebut dengan fraktur piramidal. Manifestasi dari fraktur ini
ialah edema di kedua periorbital, disertai juga dengan ekimosis, yang terlihat
seperti racoon sign. Biasanya
ditemukan juga hipoesthesia di nervus infraorbital. Kondisi ini dapat terjadi
karena trauma langsung atau karena laju perkembangan dari edema. Maloklusi
biasanya tercatat dan tidak jarang berhubungan dengan open bite. Pada fraktur
ini kemungkinan terjadinya deformitas pada saat palpasi di area infraorbital
dan sutura nasofrontal. Keluarnya cairan cerebrospinal dan epistaksis juga
dapat ditemukan pada kasus ini.
Gambar 2.5 Fraktur Le Fort II (Fonseca, 2005)
3.
Fraktur Le Fort III
Fraktur ini disebut juga
fraktur tarnsversal. Fraktur Le Fort III (gambar 2.6) menggambarkan adanya
disfungsi kraniofasial. Tanda yang terjadi pada kasus fraktur ini ialah
remuknya wajah serta adanya mobilitas tulang zygomatikomaksila kompleks,
disertai pula dengan keluarnya cairan serebrospinal, edema, dan ekimosis
periorbital.
Gambar 2.6 Fraktur Le Fort III (Fonseca, 2005)
2.3.3
Fraktur Sepertiga Atas Wajah
Fraktur sepertiga atas
wajah mengenai tulang frontalis, regio supra orbita, rima orbita dan sinus
frontalis. Fraktur tulang frontalis umumnya bersifat depressed ke dalam atau hanya mempunyai garis fraktur linier yang
dapat meluas ke daerah wajah yang lain.
2.3.4
Fraktur Dentoalveolar (Fonseca, 2005; Andreasen et al., 2007)
Fraktur dentoalveolar
sering terjadi pada anak-anak karena terjatuh saat bermain atau dapat pula
terjadi akibat kecelakaan kendaraan bermotor. Struktur dentoalveolar dapat
terkena trauma yang langsung maupun tidak langsung. Trauma langsung biasanya
dapat menyebabkan trauma pada gigi insisif sentral maksila karena berhubungan dengan posisinya
yang terekspos.
Faktor predisposisi yang dapat menyebabkan fraktur
dentoalveolar ialah oklusi yang abnormal, adanya overjet lebih dari 4mm,
inklinasi gigi insisal ke arah labial, bibir yang inkompeten, pendeknya bibir
atas, dan bernafas lewat hidung. Kondisi tersebut dapat dilihat pada individu
dengan kelainan maloklusi kelas II divisi I Angle, atau pada orang dengan
kebiasaan buruk menghisap ibu jari.
Gambar 2.7 Fraktur
Dentoalveolar Disertai Avulsi Pada Gigi 52, 53, dan 63 Pada Pasien Instalasi
Gawat darurat Bagian Bedah Mulut dan Maksilofasial RSUP Dr. Hasan Sadikin
Bandung.
Klasifikasi Klinis Traumatic Dental Injuries (TDI) yang
diadaptasi dari World Health Organization
(WHO) pada Application of international classification
of disease to dentistry and stomatology dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 2.1 Klasifikasi Trauma Pada Jaringan Keras
Gigi dan Pulpa
Kode
|
Trauma
|
Kriteria
|
N.502.50
|
Infraksi Email
|
Fraktur yang tidak menyeluruh pada
email tanpa hilangnya substansi gigi (retak).
|
N.502.50
|
Fraktur Email (uncomplicated fraktur mahkota)
|
Fraktur dengan adanya kehilangan
substansi gigi pada email, tanpa melibatkan dentin.
|
N.502.51
|
Fraktur Email-Dentin (uncomplicated fraktur mahkota)
|
Fraktur dengan adanya kehilangan
substansi gigi dengan melibatkan email dan dentin, namun tidak melibatkan
pulpa.
|
N.502.52
|
Complicated Fraktur Mahkota
|
Fraktur yang melibatkan email dan
dentin, dan menyebabkan tereksposnya pulpa.
|
N.502.53
|
Fraktur Akar
|
Fraktur yang melibatkan email,
dentin, dan pulpa. Fraktur akar dapat diklasifikasikan lagi berdasarkan
berpindahnya bagian koronal gigi.
|
N.502.54
|
Uncomplicated fraktur akar-mahkota
|
Fraktur yang melibatkan email,
dentin, dan sementum namun tidak menyebabkan tereksposnya pulpa.
|
N.502.54
|
Complicated fraktur akar-mahkota
|
Fraktur yang melibatkan email,
dentin, sementum, dan juga menyebabkan tereksposnya pulpa.
|
Tabel 2.2 Klasifikasi Trauma Pada Tulang
Pendukung Gigi
Kode
|
Trauma
|
Kriteria
|
N.502.40
|
Comminution Soket Alveolar Maksila
|
Hancur dan tertekannya soket
alveolar. Kondisi ini ditemukan bersamaan dengan intrusif dan luksasi lateral
gigi.
|
N.502.60
|
Comminution Soket Alveolar Mandibula
|
Hancur dan tertekannya soket
alveolar. Kondisi ini ditemukan bersamaan dengan intrusif dan luksasi lateral
gigi.
|
N.502.40
|
Fraktur dinding soket alveolar
maksila
|
Fraktur yang melibatkan dinding soket bagian fasial atau oral.
|
N.502.60
|
Fraktur dinding soket alveolar
mandibula
|
Fraktur yang melibatkan dinding soket bagian fasial atau oral.
|
N.502.40
|
Fraktur prosesus alveolaris maksila
|
Fraktur pada prosesus alveolaris
dimana dapat atau tidak melibatkan soket alveolar.
|
N.502.60
|
Fraktur prosesus alveolaris
mandibula
|
Fraktur pada prosesus alveolaris
dimana dapat atau tidak melibatkan soket alveolar.
|
N.502.42
|
Fraktur Maksila
|
Fraktur dimana melibatkan maksila
atau mandibula dan juga prosesus alveolaris. Fraktur tersebut dapat atau
tidak melibatkan soket alveolar.
|
N.502.61
|
Fraktur Mandibula
|
Fraktur dimana melibatkan maksila
atau mandibula dan juga prosesus alveolaris. Fraktur tersebut dapat atau
tidak melibatkan soket alveolar.
|
2.4
Penatalaksanaan Pasien Fraktur
Maksilofasial (Fonseca, 2005; Hupp et al.,
2008)
2.4.1
Kontak Awal Pasien
Survey awal digunakan
untuk melihat kondisi sistemik pasien dan prioritas perawatan pasien
berdasarkan luka, tanda-tanda vital, dan mekanisme terjadinya luka. Advance Trauma Life Support (ATLS) yang
dianjurkan oleh American College of
Surgeon ialah perawatan trauma ABCDE.
A: Airway maintenance with cervical spine control/ protection
1.
Menghilangkan fragmen-fragmen gigi dan tulang yang
fraktur.
2.
Memudahkan intubasi endotrakeal dengan mereposisi
segmen fraktur wajah untuk membuka jalan nafas oral dan nasofaringeal.
3.
Stabilisasi sementara posisi rahang bawah ke arah
posterior dengan fraktur kedua kondilus dan simfisis yang menyebabkan obstruksi
jalan nafas atas.
B: Breathing
and adequate ventilation
1.
Stabilisasi sementara posisi fraktur rahang bawah ke
arah posterior dengan fraktur kedua kondilus dan simfisis yang menyebabkan
obstruksi jalan nafas pada pasien yang sadar.
C: Circulation
with control of hemorrhage
1.
Kontrol perdarahan dari hidung atau luka intraoral
untuk meningkatkan jalan nafas dan mengontrol perdarahan.
2.
Menekan dan mengikat perdarahan pembuluh wajah dan
perdarahan di kepala.
3.
Menempatkan pembalut untuk mengontrol perdarahan dari
laserasi wajah yang meluas dan perdarahan kepala.
D: Disability:
neurologic examination
1.
Status neurologis ditentukan oleh tingkat kesadaran,
ukuran pupil, dan reaksi.
2.
Trauma periorbital dapat menyebabkan luka pada okular
secara langsung maupun tdak langsung yang dapat dilihat dari ukuran pupil,
kontur, dan respon yang dapat mengaburkan pemeriksaan neurologis pada pasien
dengan sistem saraf pusat yang utuh.
3.
Menentukan perubahan pupil pada pasien dengan
perubahan sensoris (alkohol atau obat) yang tidak berhubungan dengan trauma
intrakranial.
E: Exposure/
enviromental control
1.
Menghilangkan gigi tiruan, tindikan wajah dan lidah.
2.
Menghilangkan lensa kontak.
2.4.2 Penilaian Glasgow Coma Scale (Hupp et
al., 2008)
Pada umumnya, Glasgow
coma scale (GCS) digunakan untuk memeriksa kesadaran yang dilakukan untuk
mengetahui ada tidaknya gangguan neurologis pada saat pertama kali terjadi
trauma maksilofasial. Ada tiga variabel yang digunakan pada skala ini, yaitu
respon membuka mata, respon verbal, dan respon motorik. Nilai GCS ditentukan
berdasarkan skor yang diperoleh berdasarkan tabel berikut.
Tabel 2.3 Glasgow
Coma Scale (GCS)
Glasgow Coma Scale
|
Nilai
|
|
Respon Membuka Mata
(E)
|
Buka mata spontan
|
4
|
Buka mata bila dipanggil / ada rangsangan suara
|
3
|
|
Buka mata bila ada rangsang nyeri
|
2
|
|
Tidak ada reaksi dengan rangsangan apapun
|
1
|
|
Respon Verbal
(V)
|
Komunikasi verbal baik, jawaban tepat
|
5
|
Bingung, disorientasi waktu, tempat, dan orang
|
4
|
|
Kata-kata tidak teratur
|
3
|
|
Suara tidak jelas
|
2
|
|
Tidak ada reaksi dengan rangsangan apapun
|
1
|
|
Respon Motorik
(M)
|
Mengikuti Perintah
|
6
|
Dengan rangsangan nyeri, dapat mengetahui tempat
rangsangan
|
5
|
|
Dengan rangsangan nyeri, menarik anggota badan
|
4
|
|
Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi fleksi abnormal
|
3
|
|
Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi ekstensi abnormal
|
2
|
|
Dengan rangsangan nyeri, tidak ada reaksi
|
1
|
Penilaian ini dilakukan
terhadap respon motorik (1-6), respon verbal (1-5), dan respon membuka mata
(1-4), dengan interval GCS 3-15. Berdasarkan beratnya, cedera kepala
dikelompokkan menjadi :
(1)
Cedera kepala ringan dengan nilai GCS 14-15
(2)
Cedera kepala sedang dengan nilai GCS 9-13
(3)
Cedera kepala berat dengan nilai GCS sama atau kurang
dari 8
Glasgow Coma Scale
ditujukan untuk menilai koma pada trauma kepala dan sebagian tergantung pada
respon verbal sehingga kurang sesuai bila diterapkan pada bayi baru lahir,
bayi, dan anak kecil. Oleh karena itu, diajukan beberapa modifikasi untuk anak.
Anak dengan kesadaran normal mempunyai
nilai 15 pada GCS, nilai 12-14 menunjukkan gangguan kesadaran ringan, nilai
9-11 berkorelasi dengan koma moderat sedangkan nilai dibawah 8 menunjukkan koma
berat. (The Paediatric Accident and Emergency Research Group, 2008)
Tabel 2.4 Glasgow
Coma Scale Modifikasi Untuk Bayi dan Anak
Glasgow Coma Scale
|
Nilai
|
|
Respon Verbal
(V)
|
Berceloteh, bersuara, berkata-kata seperti biasanya
|
5
|
Rewel, Bingung
|
4
|
|
Menangis bila ada rangsangan nyeri, berkata-kata tidak
jelas
|
3
|
|
Merintih bila ada rangsang nyeri, bersuara tidak jelas
|
2
|
|
Tidak ada reaksi dengan rangsangan apapun
|
1
|
2.4.3 Riwayat penyakit, Keluhan Utama dan
Pemeriksaan Klinis (Fonseca, 2005; Hupp et
al., 2008)
Lima pertanyaan yang harus
diketahui untuk mengetahui riwayat penyakit pasien penderita fraktur
maksilofasial ialah:
1.
Bagaimana kejadiannya?
2.
Kapan kejadiannya?
3.
Spesifikasi luka, termasuk tipe objek yang terkena,
arah terkena, dan alat yang kemungkinan dapat menyebabkannya?
4.
Apakah pasien mengalami hilangnya kesadaran?
5.
Gejala apa yang sekarang diperlihatkan oleh pasien,
termasuk nyeri, sensasi, perubahan penglihatan, dan maloklusi?
Evaluasi menyeluruh pada
sistem, termasuk informasi alergi, obat-obatan, imunisasi tetanus terdahulu,
kondisi medis, dan pembedahan terdahulu yang pernah dilakukan.
Jejas pada sepertiga wajah
bagian atas dan kepala biasanya menimbulkan keluhan sakit kepala, kaku di
daerah nasal, hilangnya kesadaran, dan mati rasa di daerah kening.
Jejas pada sepertiga
tengah wajah menimbulkan keluhan perubahan ketajaman penglihatan, diplopia,
perubahan oklusi, trismus, mati rasa di daerah paranasal dan infraorbital, dan
obstruksi jalan nafas.
Jejas pada sepertiga bawah
wajah menimbulkan keluhan perubahan oklusi, nyeri pada rahang, kaku di daerah telinga, dan trismus.
Gambar 2.8 Perubahan
Oklusi dan Laserasi Gingiva Serta Mukosa Pada Insisif Sentral Pasien Instalasi
Gawat Darurat Bagian Bedah Mulut dan Maksilofasial RSUP. Dr. Hasan Sadikin
Bandung Menandakan Adanya Fraktur Mandibula.
Pemeriksaan klinis pada
struktur wajah terpenuhi setelah seluruh pemeriksaan fisik termasuk pemeriksaan
jantung dan paru, fungsi neurologis, dan area lain yang berpotensi terkena
trauma, termasuk dada, abdomen, dan area pelvis.
Evaluasi pada wajah dan
kranium secara hati-hati untuk melihat adanya trauma seperti laserasi, abrasi,
kontusio, edema atau hematoma. Ekimosis di periorbital, terutama dengan adanya
perdarahan subkonjungtiva, merupakan sebagai indikas dari adanya fraktur zigomatikus
kompleks dan fraktur rima orbita.
Gambar
2.9 Hematoma Pada Orbita Sinistra
Pasien Fraktur Maksilofasial di Instalasi Gawat darurat RSUP. Dr. Hasan Sadikin
Bandung.
Gambar 2.10 Ekimosis di Periorbital (Hupp et al., 2008)
Pemeriksaan neurologis
pada wajah dievaluasi secara hati-hati dengan memeriksa penglihatan, pergerakan
ekstraokular, dan reaksi pupil terhadap cahaya.
Pemeriksaan mandibula
dengan cara palpasi ekstraoral semua area inferior dan lateral mandibula serta
sendi temporomandibular. Pemeriksaan oklusi untuk melihat adanya laserasi pada
area gingiva dan kelainan pada bidang oklusi. Untuk menilai mobilisasi maksila,
stabilisasi kepala pasien diperlukan dengan menahan kening pasien menggunakan
salah satu tangan. Kemudian ibu jari dan telunjuk menarik maksila secara
hati-hati untuk melihat mobilisasi maksila.
Gambar 2.11 Pemeriksaan
Mobilisasi Maksila (Hupp et al.,
2008)
Pemeriksaan regio atas dan
tengah wajah dipalpasi untuk melihat adanya kerusakan di daerah sekitar kening,
rima orbita, area nasal atau zigoma. Penekanan dilakukan pada area tersebut
secara hati-hati untuk mengetahui kontur tulang yang mungkin sulit diprediksi
ketika adanya edema di area tersebut. Untuk melihat adanya fraktur zigomatikus
kompleks, jari telunjuk dimasukan ke vestibula maksila kemudian palpasi dan
tekan kearah superior lateral.
2.4.4
Pemeriksaan Radiografis
(Hupp et al., 2008)
Pada pasien dengan trauma
wajah, pemeriksaan radiografis diperlukan untuk memperjelas suatu diagnosa
klinis serta untuk mengetahui letak fraktur. Pemeriksaan radiografis juga dapat
memperlihatkan fraktur dari sudut dan perspektif yang berbeda.
Pemeriksaan radiografis
pada mandibula biasanya memerlukan foto radiografis panoramic view, open-mouth Towne’s view, postero-anterior view, lateral
oblique view. Biasanya bila foto-foto diatas kurang memberikan informasi
yang cukup, dapat juga digunakan foto oklusal dan periapikal.
Computed Tomography (CT) scans dapat juga memberi informasi bila terjadi trauma yang dapat
menyebabkan tidak memungkinkannya dilakukan teknik foto radiografis biasa.
Banyak pasien dengan trauma wajah sering menerima atau mendapatkan CT-scan untuk menilai gangguan
neurologi, selain itu CT-scan dapat
juga digunakan sebagai tambahan penilaian radiografi.
Pemeriksaan
radiografis untuk fraktur sepertiga tengah wajah dapat menggunakan Water’s view, lateral skull view,
posteroanterior skull view, dan submental
vertex view.
2.4.5 Perawatan Fraktur Maksilofasial (Hupp et al., 2008)
Hasil yang diharapkan dari
perawatan pada pasien fraktur maksilofasial adalah penyembuhan tulang yang
cepat, normalnya kembali okular, sistem mastikasi, dan fungsi nasal, pemulihan
fungsi bicara, dan kembalinya estetika wajah dan gigi. Selama fase perawatan
dan penyembuhan, penting untuk meminimalisir efek lanjutan pada status nutrisi
pasien dan mendapatkan hasil perawatan dengan minimalnya kemungkinan pasien
merasa tidak nyaman.
Untuk mendapatkan hasil
yang baik, prinsip dasar pada bedah yang harus dipersiapkan sebagai penunjuk
untuk perawatan fraktur maksilofasial ialah : reduksi fraktur (mengembalikan
segmen-segmen tulang pada lokasi anatomi semula) dan fiksasi segmen-segmen
tulang untuk meng-imobilisasi segmen-segmen pada lokasi fraktur. Sebagai
tambahan, sebelum tindakan, oklusi sebaiknya sudah direstorasi dan infeksi pada
area fraktur sebaiknya di cegah dan dihilangkan terlebih dahulu.
Waktu perawatan fraktur
tergantung dari banyak faktor. Secara umum, lebih cepat merawat luka akan lebih
baik hasilnya. Penelitian membuktikan bahwa semakin lama luka dibiarkan terbuka
dan tidak ditangani, semakin besar kemungkinan untuk terjadinya infeksi dan
malunion.
Perawatan fraktur dengan
menggunakan intermaxillary fixation
(IMF) disebut juga reduksi tertutup karena tidak adanya pembukaan dan
manipulasi terhadap area fraktur secara langsung. Teknik IMF yang biasanya
paling banyak digunakan ialah penggunaan arch
bar.
Gambar 2.12 Jenis
Teknik Maxillomandibular fixation wiring Arch
bar Pada Pasien Fraktur Maksilofasial Instalasi Gawat Darurat RSUP. Dr.
Hasan Sadikin Bandung.
Perawatan fraktur dengan
reduksi terbuka ialah perawatan pembukaan dan reduksi terhadap area fraktur
secara langsung dengan tindakan pembedahan. Reduksi terbuka dilakukan bila
diperlukan reduksi tulang secara adekuat. Indikasi perawatan reduksi terbuka
ialah berpindahnya segmen tulang secara lanjut atau pada fraktur unfavorable, seperti fraktur angulus,
dimana tarikan otot masseter dan medialis pterygoid dapat menyebabkan distraksi
segmen proksimal mandibula.
terima kasih
BalasHapus